HUBUNGAN
PEMERINTAH PUSAT – DAERAH
A.
PENDAHULUAN
Dengan dibentuknya daerah otonom
sebagai perwujudan dari dianutnya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan
Negara Indonesia, maka timbullah hubungan Pusat dengan Daerah. Hubungan ini
memiliki makna yang penting dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, mengingat dalam sistem pemerintahan negara yang berbentuk negara
kesatuan, pusat adalah pusatnya daerah, dan daerah adalah daerahnya pusat.
Untuk terselenggaranya hubungan yang
representatif dalam pemerintahan antara pusat dan daerah merupakan tuntutan
tersendiri, khususnya dalam rangka membentuk pemerintahan daerah yang mampu
mengurus rumah tangganya dengan kemampuan sendiri secara berdayaguna dan
berhasilguna.
Dari beberapa literatur dapat disimpulkan
bahwa hubungan pusat daerah itu antara lain meliputi hubungan kewenangan,
hubungan keuangan, hubungan unsur luar dan susunan dalam, susunan organisasi
pemerintah daerah dan pengawasan. Hubungan pusat dan daerah dalam bidang
kewenangan menyangkut aspek-aspek urusan pemerintah yang menjadi unsur rumah
tangga daerah. Dalam hubungan ini akan tergambar kedudukan pusat dan daerah
khususnya dalam penyelenggaraan urusan pemerintah, unsur-unsur pemerintah mana
yang dapat diserahkan kepada daerah dalam wujud otonomi dan unsur-unsur mana
yang tetap berada di tangan pusat, serta urusan-urusan pemerintah mana yang
tetap di tangan pusat, tetapi penyelenggaraannya ditugaskan kepada daerah dalam
wujud tugas pembantuan.
Misalnya dalam hal hubungan pusat dan
daerah yang menyangkut aspek susunan organisasi pemerintah daerah. Susunan
organisasi ini memiliki dua segi yaitu unsur luar dan unsur dalam, susunan luar
menyangkut badan-badan pemerintah daerah, seperti propinsi dan kabupaten serta
kota. Sedangkan susunan dalam berkenaan dengan alat kelengkapan pemerintah
daerah seperti Kepala Daerah dan perangkat daerah. Untuk itu dalam hubungan ini akan
nampak bagaimana susunan daerah dan organisasi pemerintah daerah.
Hubungan pusat dan daerah yang
menyangkut aspek keuangan akan terlihat pada sumber pendayagunaan sumber
pendapatan asli daerah, yang merupakan sumber pembiayaan pemerintah daerah,
sebagaimana dijelaskan bahwa kunci kemandirian daerah sangat tergantung dari
aspek keuangan ini. Atas dasar itu pembiayaan pendapatan antara pusat dan
daerah berjalan dengan perimbangan yang adil sesuai dengan volume urusan yang telah diserahkan kepada daerah.
Dengan
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, hubungan kewenangan Pusat dan Daerah telah
mengalami banyak perubahan. Pengaturan mengenai distribusi urusan pemerintahan
mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, urusan pemerintahan yang tidak
dapat didesentralisasikan. Kelompok urusan pemerintahan ini dipandang penting
bagi keutuhan organisasi dan bangsa Indonesia. Urusan pemerintahan ini meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional,
yustisi, dan agama. Kelompok urusan pemerintahan ini diselenggarakan menurut
asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan
instansi vertikal di provinsi dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan
desa. Kedua, urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan, yaitu urusan
pemerintahan di luar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Urusan
pemerintahan ini didesentralisasikan, didekonsentrasikan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah, ditugas-bantukan kepada daerah otonom dan desa.
Distribusi
urusan pemerintahan tersebut di atas didasarkan pada kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi. Selanjutnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan,
dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan. Dalam pustaka Inggris
masing-masing urusan wajib dan urusan pilihan lazim disebut obligatory
functions dan permissive functions (Hoessein : 2006)
B.
PENGERTIAN UMUM
1. Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat,
selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah
Secara umum pemerintah daerah dipahami sebagai :
Organisasi yang ditetapkan oleh undang-undang dipilih secara demokratis
yang berkedudukan di bawah pemerintah pusat, propinsi atau pemerintah regional;
yang menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat dalam wilayah kekuasaannya.
Cole dan Boyne mendefinisikan pemerintahan daerah didefinisikan sebagai:
Suatu badan yang dipilih secara demokratis dalam daerah tertentu, yang
berwenang memungut pajak untuk melaksanakan kebijaksanaan yang dibuatnya
sendiri atas pelayanan kepada masyarakat yang mereka berikan. (dalam
Bailey, 1999: 2-3)
Menurut
definisi tersebut ada 3 unsur penting dalam pemerintahan daerah, yaitu :
1.
Dibentuk melalui pemilihan lokal
yang demokratis.
2.
Berwenang memungut pajak.
3.
Berkewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Sementara pemerintahan daerah dalam konsep yang
dipakai di Indonesia
sebagaimana rumusan daerah otonom, yaitu :
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara
kesatuan Republik Indonesia (UU No. 5 / 1974).
Dalam UU No. 22 / 1999 rumusan
Daerah Otonom sedikit dirubah menjadi:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Kemudian
dalam UU No. 32 / 2004 Daerah Otonom
disempurnakan lagi menjadi:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia .
3.
Otonomi Daerah
Dalam
UU No. 32 / 2004 (pasal 1 ayat 5 )Otonomi Daerah adalah :
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
TUJUAN
OTDA: Dalam UU No. 32 / 2004 (pasal 2 ayat 3) :
Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
4. Pengertian HPD
Hubungan Pemerintah Pusat–Daerah (HPD) adalah hubungan kerja atau kaitan
tugas atau pertalian antara perangkat Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah, baik hubungan secara vertikal, horizontal maupun diagonal.
a)
Tujuan HPD
•
Good
Government
Suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh
pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup
keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan
kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum,
memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan antara mereka.
•
Good
Governance
Tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat
mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan
nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
•
Masyarakat
Madani
Sistem sosial yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan dan kepentingan
masyarakat.
b)
Jenis Hubungan
• Hubungan Vertikal
Hubungan ini secara umum disebut hubungan atas bawah secara timbal balik.
Hubungan ini muncul berkaitan dengan adanya tingkatan kekuasaan dalam
pemerintahan. Hubungan ini oleh J. Friedrich disebut territorial division of
power.
• Hubungan Horizontal
Pembagian kekuasaan ini berdasarkan fungsi, dan pembagian ini menunjukkan
pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintah yang bersifat legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Hubungan ini disebut berdasarkan division of power.
• Hubungan Diagonal
Hubungan yang menyilang dari atas ke bawah secara timbal balik antara dua
unit yang berbeda induk.
5. HPD Menurut Kavanagh
§ Model
Pelaksana (Agency Model)
Pemerintah Daerah semata-mata dianggap sebagai pelaksana oleh Pemerintah
Pusat. Kewenangan Daerah sangat kecil namun wajib melaksanakan semua
kebijaksanaan Pusat. Dan sewaktu-waktu Pemerintah Pusat dapat mencabut
kewenangan Daerah.
§ Model
Mitra (Partnership Model)
Pemerintah Daerah memiliki kebebasan walaupun tetap sub-ordinatif dari
Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dianggap sebagai mitra kerja Pemerintah
Pusat
6. HPD Menurut UU No.32 / 2004
•
Pasal 2
ayat 4 berbunyi :
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya.
•
Pasal 2
ayat 5
Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi :
a.
Hubungan Wewenang
b.
Hubungan Keuangan
c.
Hubungan Pelayanan Umum
d.
Hubungan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
e.
Hubungan Sumber Daya Lainnya
•
Pasal
11 (ayat 2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan ... merupakan pelaksanaan hubungan
kewenangan yang bersifat saling terkait, tergantung dan sinergis antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah atau antar pemerintahan daerah sebagai suatu
sistem pemerintahan
•
Pasal
12
1)
Urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan
2)
Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan
Tabel; HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT – DAERAH
(Berdasarkan Kewenangan dan Jenis Otonomi)
Otonomi Materil
|
Otonomi Formil
|
Otonomi Riil
|
|
Pemerintah
Pusat
|
Seluruh kewenangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat
|
Seluruh kewenangan dilakukan oleh
Pemerintah Pusat
|
Seluruh kewenangan dilakukan oleh
Pemerintah Pusat
|
Pemerintah
Daerah
|
Kewenangan lain
selain yang telah ditetapkan oleh UU
|
Apa yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat dapat pula dilakukan oleh Pemerintah Daerah
|
Pelimpahan
kewenangan dan urusan dari Pemerintah Pusat yang didasarkan atas kebutuhan
serta kemampuan dari Daerah masing-masing
|
C.
HUBUNGAN WEWENANG
Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap
ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah.
Latar Belakang adanya Pembagian atau
Hubungan Kewenangan
•
Untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat
secara demokratis
•
Demokratisasi dan pendidikan politik
•
Mendekatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan
efisiensi serta efektifitas pelayanan masyarakat
•
Meningkatkan partisipasi masyarakat
•
Memberdayakan potensi dan keaneka ragaman daerah
Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan
Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua
belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan
aspirasi Daerah sehingga tercipta sinergi antara kepentingan Pusat dan Daerah.
Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan
pemerintahan yang efisien dan efektif antar tingkatan pemerintahan, maka
distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a)
Externalitas; yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka
urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila
regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Atau dengan kata lain, unit pemerintahan yang terkena dampak
langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk
mengurus urusan pemerintahan tersebut;
b)
Akuntabilitas; yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan
bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Atau dengan kata
lain unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah
unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari
pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan
pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan
tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut.
Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung
jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab
Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat;
c)
Efisiensi; Apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih
berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh suatu strata pemerintahan tertentu,
maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan
pemerintahan dimaksud dibandingkan dengan strata pemerintahan lainnya. Dayaguna
dan hasilguna dapat diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah,
serta hasil dan manfaatnya lebih besar, luas dan banyak dengan resiko yang
minimal. Artinya, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk
kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk
mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau
high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi
(econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait
dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan
tersebut dilaksanakan.
Kondisi idealnya adalah Pemerintah Daerah harus mempunyai
kewenangan-kewenangan yang memungkinkan mereka dapat menghasilkan public
goods dan public regulations yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
(kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan)
§
Public Goods adalah barang-barang yang bersifat
penting dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kualitas hidup serta memperlancar usaha produktifitas yang
dilakukannya. Misalnya: Pasar, Sekolah, Jalan, Rumah Sakit, dan Fasilitas umum
lainnya
§
Public Regulations adalah suatu pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai
upaya dalam mengendalikan warga masyarakat. Misalnya: Kartu Tanda Penduduk,
Kartu Keluarga, Izin Mendirikan Bangunan, Akte Kelahiran, dsb
D.
HUBUNGAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk
menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan
memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektif, efisien,
ekonomis dan akuntabel.
Jimly Asshidiqie menegaskan
bahwa tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan-urusan tertentu
dianggap telah sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah
daerah, yang oleh karena itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai
urusan rumah tangga daerahnya sendiri (Asshidiqie 2007: 423)
Pembagian urusan pemerintahan dapat ditinjau dari:
1.
Desentralisasi
2.
Dekonsentrasi
3.
Tugas Pembantuan (Medebewin)
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia . (UU
32/2004 Psl 1:7)
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
(UU 32/2004 Psl 1:8)
Tugas pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu. (UU 32/2004 Psl 1:9)
|
|||||||||
|
|||||||||
Kriteria
Pembagian Kewenangan
§ PUSAT à berwenang membuat norma-norma, standar, monitoring
dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dengan eksternalitas nasional
§ PROVINSI à berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kab/Kota)
§ KABUPATEN/KOTA à berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/Kota)
Strateginya:
§ Penguatan kerjasama antar daerah khususnya untuk
pelayanan publik
§ Daerah wajib mengelola bersama urusan
pemerintahan yang inefisien kalau dikerjakan sendiri-sendiri
§ Mencegah terjadinya high cost economy melalui
pengelolaan bersama
§ Mencegah kegiatan lintas dampak yang merugikan
daerah
§ Penerapan SPM sebagai embrio penyusunan
perimbangan keuangan yang adil
1. Pembagian Urusan Pemerintahan
a)
Urusan Pemerintah Pusat
Jenis
urusan pemerintahan yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah :
a.
Politik luar negeri
b. Pertahanan
c.
Keamanan
d. Yustisi
e.
Moneter dan fiskal nasional; dan
f.
Agama
b)
Urusan Pemerintah Daerah
•
Urusan Wajib
Urusan wajib: urusan yang
sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara,
antara lain:
a.
perlindungan hak konstitusional;
b. perlindungan
kepentingan nasional;
c.
pemenuhan komitmen nasional terkait dengan
perjanjian dan konvensi internasional.
Pasal. 13 UU No. 32 Tahun 2004
(Urusan
Wajib Pemerintahan Provinsi)
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal.
14 UU No. 32 Tahun 2004
(Urusan
Wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota)
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
•
Urusan Pilihan
Urusan pilihan: urusan secara
nyata di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah.
2. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan 6 urusan pemerintahan (pusat)
Pemerintah (pusat) dapat :
·
Menyelenggarakan sendiri
·
Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah/ wakil Pemerintah di daerah
·
Dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
Penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan
(pusat)
Pemerintah (pusat) dapat:
·
Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan
pemerintahan
·
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
·
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan
daerah/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan
E.
HUBUNGAN KEUANGAN
HPD Berdasarkan Hubungan Keuangan
Azas Desentralisasi
|
Azas Dekonsentrasi
|
Azas Tugas Pembantuan
|
|
Pemerintah Pusat
|
Tidak turut membiayai kegiatan Daerah
|
Turut membiayai kegiatan Daerah
|
Turut membiayai kegiatan Daerah yang ditugaskannya
|
Pemerintah Daerah
|
Membiayai seluruh kegiatan pemerintahan dan pembangunan
di Daerahnya masing-masing
|
Berkoordinasi dengan Kantor Wilayah yang ada di Tingkat
Propinsi mengenai pembiayaan urusan dan kewenangan yang dilimpahkan dari
Pusat
|
Pembiayaan bersumber dari Pusat atau Daerah tingkat
atas yang menugaskannya, namun Daerah dapat menolak Tugas Pembantuan apabila
tidak disertai Sumber Daya Keuangan dan SDM yang memadai
|
Diagram Hubungan Antara Pemerintah Pusat - Daerah
F.
HUBUNGAN PENGAWASAN
1.
Pengertian Pengawasan
George R. Terry : Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai,
mengadakan evaluasi atasnya, dan
mengambil tindakan-tindakan korektif bila diperlukan, untuk menjamin agar
hasilnya sesuai dengan rencana.
Newman : Pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar
pelaksanaan sesuai dengan rencana.
Henry Fayol : Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu
berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dengan instruksi yang
telah diberikan dan dengan prinsif-prinsif yang telah digariskan. Ia bertujuan
untuk menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan
dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.
Jika pengertian pengawasan
diambil dari kata dalam bahasa Inggrisnya controlling, maka mau tidak
mau didalamnya terkandung pula unsur tindakan korektif. Karena controlling
itu sebenarnya dapat berarti pula pengendalian.
2.
Pemahaman Pengendalian dan Pengawasan
Kegiatan pengawasan
adalah untuk mengetahui. Sedangkan kegiatan pengendalian adalah langsung
memberikan arah kepada obyek yang dikendalikan.
Dalam pengendalian
kewenangan untuk mengadakan tindakan korektif sudah terkandung
didalamnya. Sedangkan dalam pengertian pengawasan, tindakan korektif
merupakan proses kelanjutannya (berada diluarnya).
Jadi, pengendalian adalah pengawasan
plus tindakan korektif. Sedangkan pengawasan
adalah penengendalian minus tindakan korektif.
tabel; HPD Berdasarkan Jenis Pengawasan
PREVENTIF
|
REPRESIF
|
UMUM
|
|
PEMERINTAH PUSAT
|
Melakukan
pengesahan terhadap Perda dan Keputusan Kepda sebelum diberlakukan. Di
tingkat Pusat dilakukan oleh Mendagri terhadap Perda dan Kep. Kepda tingkat
Propinsi
|
Melakukan
penangguhan atau pembatalan Perda atau Keputusan Kepda yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau perundang-undangan yang tingkatannya lebih
tinggi
|
Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
|
PREVENTIF
|
REPRESIF
|
UMUM
|
|
PEMERINTAH
DAERAH
|
Gubernur yang
berhak untuk mengesahkan Perda dan Keputusan Kepala Daerah tingkat Kota dan
Kabupaten
|
Daerah
menyampaikan permohonan kepada Pusat agar Perda dan Kep. Kepda dapat
disetujui dan disahkan. Apabila ditolak, Daerah dapat meminta bantuan kepada
Mahkamah Agung
|
Kepala Daerah
dan Bawasda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah
|
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
Pasal 218
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan Pemerintah
yang meliputi:
a.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan
pemerintahan di Daerah
b.
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf “a” dilaksanakan oleh
aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 221 : Hasil pengawasan dapat dijadikan bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan
Pasal 222
(1) Pengawasan dikoordinasikan oleh Mendagri
(2) Untuk tingkat Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur
(3) Untuk tingkat Desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota
(4) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kepada Camat
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DAERAH
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 14, yang menjadi kewenangan daerah dalam
urusan pemerintahan yang bersifat wajib salah satunya adalah “Perencanaan Dan Pengendalian
Pembangunan”.
Pasa1 150 UU No. 32 Tahun 2004
(1) Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
(2) Perencanaan pembangunan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
(3) Perencanaan pembangunan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun secara berjangka meliputi:
a. Rencana pembangunan jangka
panjang daerah disingkat dengan RPJP daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada
RPJP nasional;
b. Rencana pembangunan jangka
menengah daerah yang selanjutnya disebut RPJM daerah untuk jangka waktu 5
(lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah
yang penyusunannya berpedoman kapada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM
nasional;
c. RPJM daerah sebagaimana
dimaksud pada huruf b memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi
pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah,
lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan
rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif;
d. Rencana kerja pernbangunan
daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu
1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan
langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah;
e. RPJP daerah dan RJMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Sebagai penjabaran dari UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 150 di atas, dalam Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 2008 (tentang : Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalan Dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah), yang di dalamnya diterangkan
mengenai tapan Rencana Pembangunan Daerah,sebagai berikut :
Pasal 4 PP No.8
Tahun 2008
(1) Rencana pembangunan daerah
meliputi:
a. RPJPD;
b. RPJMD; dan
c. RKPD.
(2) Rencana pembangunan daerah
sebagaimana dmaksud pada ayat (1), disusun dengan tahapan;
a. Penyusunan rancangan awal;
b. Pelaksanaan Musrenbang;
c. Perumusan rancangan akhir;
dan
d. Penetapan rencana
A.
RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD)
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 5
(1) Bappeda menyusun rancangan
awal RPJPD.
(2) RPJPD provinsi memuat visi,
misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional
(3) RPJPD kabupaten/kota memuat
visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional dan
RPJPD provinsi
(4) Dalam menyusun rancangan
awal RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bappeda meminta masukan dari
SKPD dan pemangku kepentingan
Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 6
(1) Musrenbang dilaksanakan
untuk membahas rangcangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4).
(2) Musrenbang dilaksanakan
oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3) Musrenbang dilaksanakan
dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan
awal RPJPD.
(4) Pelaksanaan Musrenbang
ditetapkan oleh kepala daerah
Perumusan
Rancangan Akhir
Pasal 7
(1) Rancangan akhir RPJPD
dirumuskan berdasarkan hasil Musrenbang.
(2) Rancangan akhir RPJPD
dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang
berjalan.
(3) Rancangan akhir RPJPD
disampaikan ke DPRD dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD
paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.
Penetapan
Pasal 8
(1) DPRD bersama kepala
daerah membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD.
(2) RPJPD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.
Pasal 9
(3) Gubernur menyampaikan
Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi paling lama 1 (satu) bulan kepada Menteri.
(4) Bupati/walikota
menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota paling lama 1 (satu)
bulan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 10
(1) Gubernur menyebarluaskan
Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota
menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota kepada
masyarakat.
B.
RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)
Penyusunan
Rancangan Awal
Pasal 11
(1) Bappeda menyusun
rancangan awal RPJMD.
(2) RPJMD memuat visi,
misi dan program kepala daerah.
(3) Rancangan awal RPJMD
berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, kondisi lingkungan
strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode
sebelumnya.
Pasal 12
(1) Kepala SKPD
menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Rancangan Renstra-SKPD
disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bapppeda.
(3) Bappeda menyempurnakan
rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan
Renstra-SKPD sebagai masukan.
Pelaksanaan
Musrenbang
Pasal 13
(1) Musrenbang dilaksanakan
untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(2) Musrenbang dilaksanakan oleh
Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3) Musrenbang dilaksanakan
dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan
RPJMD.
(4) Pelaksanaan Musrenbang
ditetapkan oleh kepala daerah.
Perumusan
Rancangan Akhir
Pasal 14
(1) Rancangan akhir RPJMD
dirumuskan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang.
(2) Pembahasan rumusan rancangan
akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah.
Penetapan
Pasal 15
(1) RPJMD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(2) Peraturan Daerah tentang
RPJMD ditetapkan paling lama 6 bulan setelah kepala daerah dilantik.
(3) Peraturan Daerah tentang
RPJMD Provinsi disampaikan kepada Menteri.
(4) Peraturan Daerah tentang
RPJMD Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada
Menteri.
Pasal 16
(1) Gubernur menyebarluaskan
Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota
menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota kepada
masyarakat.
C.
RENCANA KERJA
PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD)
Penyusunan
Rancangan Awal
Pasal 17
(1) Bappeda menyusun
rancangan awal RKPD.
(2) RKPD merupakan
penjabaran dari RPJMD.
(3) Kepala Bappeda mengkoordinasikan
penyusunan rancangan RKPD menggunakan rancangan Renja-SKPD dengan Kepala SKPD.
(4) Rancangan RKPD memuat
rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah,
rencana kerja dan pendanaannya serta prakiraan maju dengan mempertimbangkan
kerangka pendanaan dan pagu indikatif, baik yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
(5) Penetapan program prioritas
berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan
yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
(6) Rancangan RKPD menjadi
bahan Musrenbang RKPD.
Pelaksanaan
Musrenbang
Pasal 18
(1) Musrenbang RKPD merupakan
wahana partisipasi masyarakat di daerah.
(2) Musrenbang RKPD dilaksanakan
oleh Bappeda setiap tahun dalam rangka membahas Rancangan RKPD tahun
berikutnya.
(3) Musrenbang RKPD provinsi
dilaksanakan untuk keterpaduan antar-Rancangan Renja SKPD dan antar-RKPD
kabupaten/kota dalam dan antarprovinsi.
(4) Musrenbang RKPD
kabupaten/kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan
antar-Rencana Pembangunan Kecamatan.
Pasal 19
(1) Pelaksanaan Musrenbang RKPD
provinsi difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri.
(2) Pelaksanaan Musrenbang RKPD
kabupaten/kota difasilitasi oleh pemerintah provinsi.
Pasal 20
(1) Musrenbang RKPD
kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan, dan
kecamatan atau sebutan lain.
(2) Musrenbang RKPD provinsi
dilaksanakan setelah Musrenbang kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 21
(1) Departemen Dalam Negeri
menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi.
(2) Pemerintah Provinsi
menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD kabupaten/kota.
Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 22
(1) Hasil Musrenbang RKPD menjadi dasar perumusan rancangan
akhir RKPD oleh Bappeda.
(2) Rancangan akhir RKPD disusun oleh Bappeda
berdasarkan hasil Musrenbang RKPD, dilengkapi dengan pendanaan yang menunjukkan
prakiraan maju.
Penetapan
Pasal 23
(1) RKPD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur,
dan RKPD kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
(2) Gubernur menyampaikan Peraturan Gubernur
tentang RKPD Provinsi kepada Menteri.
(3) Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota tentang
RKPD Kabupaten/Kota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
(4) RKPD dijadikan dasar penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 24
(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Gubernur
tentang RKPD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Bupati/Walikota tentang
RKPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
–
Abe,
Alexander. (2001). Perencanaan Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
–
Kansil,
CST. (1984). Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Jakarta : Aksara Baru.
–
Koesoemahatmadja.
(1979). Pengantar ke arah Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia. Bandung : Binacipta.
–
Liang
Gie, The (1995). Pertumbuhan Pemerintahan Daerah. Jilid I, II, III. Yogyakarta:
Liberty .
–
Riwu
Kaho, Yosep. (1983). Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia . Jakarta : Bina Aksara.
–
Sugandha,
Dann. (1981). Masalah Otonomi serta Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia. Bandung :
Sinar Baru.
–
Soejito,
Rawan. (1990). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta : Rineka Cipta.
–
Sarundajang,
S.H. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
–
Sugandha, Dann (1981). Masalah Otonomi serta Hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
–
Sarundajang, S.H. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke
Daerah. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
• Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pemerintahan Daerah.
• Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
• Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun
1959 tentang Pemerintahan Daerah.
• Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
• Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
• Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
• Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
0 komentar:
Posting Komentar