Selasa, 19 Juni 2012

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT – DAERAH



HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT – DAERAH


A.     PENDAHULUAN

Dengan dibentuknya daerah otonom sebagai perwujudan dari dianutnya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia, maka timbullah hubungan Pusat dengan Daerah. Hubungan ini memiliki makna yang penting dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, mengingat dalam sistem pemerintahan negara yang berbentuk negara kesatuan, pusat adalah pusatnya daerah, dan daerah adalah daerahnya pusat.

Untuk terselenggaranya hubungan yang representatif dalam pemerintahan antara pusat dan daerah merupakan tuntutan tersendiri, khususnya dalam rangka membentuk pemerintahan daerah yang mampu mengurus rumah tangganya dengan kemampuan sendiri secara berdayaguna dan berhasilguna.

Dari beberapa literatur dapat disimpulkan bahwa hubungan pusat daerah itu antara lain meliputi hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan unsur luar dan susunan dalam, susunan organisasi pemerintah daerah dan pengawasan. Hubungan pusat dan daerah dalam bidang kewenangan menyangkut aspek-aspek urusan pemerintah yang menjadi unsur rumah tangga daerah. Dalam hubungan ini akan tergambar kedudukan pusat dan daerah khususnya dalam penyelenggaraan urusan pemerintah, unsur-unsur pemerintah mana yang dapat diserahkan kepada daerah dalam wujud otonomi dan unsur-unsur mana yang tetap berada di tangan pusat, serta urusan-urusan pemerintah mana yang tetap di tangan pusat, tetapi penyelenggaraannya ditugaskan kepada daerah dalam wujud tugas pembantuan.

Misalnya dalam hal hubungan pusat dan daerah yang menyangkut aspek susunan organisasi pemerintah daerah. Susunan organisasi ini memiliki dua segi yaitu unsur luar dan unsur dalam, susunan luar menyangkut badan-badan pemerintah daerah, seperti propinsi dan kabupaten serta kota. Sedangkan susunan dalam berkenaan dengan alat kelengkapan pemerintah daerah seperti Kepala Daerah dan perangkat daerah. Untuk itu dalam hubungan ini akan nampak bagaimana susunan daerah dan organisasi pemerintah daerah.

Hubungan pusat dan daerah yang menyangkut aspek keuangan akan terlihat pada sumber pendayagunaan sumber pendapatan asli daerah, yang merupakan sumber pembiayaan pemerintah daerah, sebagaimana dijelaskan bahwa kunci kemandirian daerah sangat tergantung dari aspek keuangan ini. Atas dasar itu pembiayaan pendapatan antara pusat dan daerah berjalan dengan perimbangan yang adil sesuai dengan volume urusan yang telah diserahkan kepada daerah.

 

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, hubungan kewenangan Pusat dan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Pengaturan mengenai distribusi urusan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, urusan pemerintahan yang tidak dapat didesentralisasikan. Kelompok urusan pemerintahan ini dipandang penting bagi keutuhan organisasi dan bangsa Indonesia. Urusan pemerintahan ini meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kelompok urusan pemerintahan ini diselenggarakan menurut asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan instansi vertikal di provinsi dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan desa. Kedua, urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan, yaitu urusan pemerintahan di luar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Urusan pemerintahan ini didesentralisasikan, didekonsentrasikan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, ditugas-bantukan kepada daerah otonom dan desa.

Distribusi urusan pemerintahan tersebut di atas didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Selanjutnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan, dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan. Dalam pustaka Inggris masing-masing urusan wajib dan urusan pilihan lazim disebut obligatory functions dan permissive functions (Hoessein : 2006)


B.     PENGERTIAN UMUM
1.      Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.      Pemerintah Daerah
Secara umum pemerintah daerah dipahami sebagai :
Organisasi yang ditetapkan oleh undang-undang dipilih secara demokratis yang berkedudukan di bawah pemerintah pusat, propinsi atau pemerintah regional; yang menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat dalam wilayah kekuasaannya.

Cole dan Boyne mendefinisikan pemerintahan daerah didefinisikan sebagai:
Suatu badan yang dipilih secara demokratis dalam daerah tertentu, yang berwenang memungut pajak untuk melaksanakan kebijaksanaan yang dibuatnya sendiri atas pelayanan kepada masyarakat yang mereka berikan. (dalam Bailey, 1999: 2-3)
Menurut definisi tersebut ada 3 unsur penting dalam pemerintahan daerah, yaitu :
1.     Dibentuk melalui pemilihan lokal yang demokratis.
2.     Berwenang memungut pajak.
3.     Berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sementara pemerintahan daerah dalam konsep yang dipakai di Indonesia sebagaimana rumusan daerah otonom, yaitu :
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (UU No. 5 / 1974).

Dalam UU No. 22 / 1999 rumusan Daerah Otonom sedikit dirubah menjadi:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian dalam UU No. 32 / 2004 Daerah Otonom disempurnakan lagi menjadi:
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.


3.      Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 / 2004 (pasal 1 ayat 5 )Otonomi Daerah adalah :
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

TUJUAN OTDA: Dalam UU No. 32 / 2004 (pasal 2 ayat 3) :
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

4.      Pengertian HPD
Hubungan Pemerintah Pusat–Daerah (HPD) adalah hubungan kerja atau kaitan tugas atau pertalian antara perangkat Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, baik hubungan secara vertikal, horizontal maupun diagonal.
a)     Tujuan HPD
     Good Government
Suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan antara mereka.

     Good Governance
Tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.

     Masyarakat Madani
Sistem sosial yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan dan kepentingan masyarakat.

b)     Jenis Hubungan
     Hubungan Vertikal
Hubungan ini secara umum disebut hubungan atas bawah secara timbal balik. Hubungan ini muncul berkaitan dengan adanya tingkatan kekuasaan dalam pemerintahan. Hubungan ini oleh J. Friedrich disebut territorial division of power.



     Hubungan Horizontal
Pembagian kekuasaan ini berdasarkan fungsi, dan pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintah yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hubungan ini disebut berdasarkan division of power.

     Hubungan Diagonal
Hubungan yang menyilang dari atas ke bawah secara timbal balik antara dua unit yang berbeda induk.


5.      HPD Menurut Kavanagh
§ Model Pelaksana (Agency Model)
Pemerintah Daerah semata-mata dianggap sebagai pelaksana oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan Daerah sangat kecil namun wajib melaksanakan semua kebijaksanaan Pusat. Dan sewaktu-waktu Pemerintah Pusat dapat mencabut kewenangan Daerah.
§ Model Mitra (Partnership Model)
Pemerintah Daerah memiliki kebebasan walaupun tetap sub-ordinatif dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dianggap sebagai mitra kerja Pemerintah Pusat


6.      HPD Menurut UU No.32 / 2004
     Pasal 2 ayat 4 berbunyi :
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya.

     Pasal 2 ayat 5
Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi :
a.     Hubungan Wewenang
b.    Hubungan Keuangan
c.      Hubungan Pelayanan Umum
d.    Hubungan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
e.     Hubungan Sumber Daya Lainnya


     Pasal 11 (ayat 2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan ... merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan yang bersifat saling terkait, tergantung dan sinergis antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah atau antar pemerintahan daerah sebagai suatu sistem pemerintahan

     Pasal 12
1)       Urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan
2)       Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan

Tabel; HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT – DAERAH
(Berdasarkan Kewenangan dan Jenis Otonomi)


Otonomi Materil
Otonomi Formil
Otonomi Riil
Pemerintah Pusat
Seluruh kewenangan  dilakukan oleh Pemerintah Pusat
Seluruh kewenangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat
Seluruh kewenangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Kewenangan lain selain yang telah ditetapkan oleh UU
Apa yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dapat pula dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Pelimpahan kewenangan dan urusan dari Pemerintah Pusat yang didasarkan atas kebutuhan serta kemampuan dari Daerah masing-masing





C.     HUBUNGAN WEWENANG
Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah.
Latar Belakang adanya Pembagian atau Hubungan Kewenangan
     Untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat secara demokratis
     Demokratisasi dan pendidikan politik
     Mendekatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan efisiensi serta efektifitas pelayanan masyarakat
     Meningkatkan partisipasi masyarakat
     Memberdayakan potensi dan keaneka ragaman daerah

Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinergi antara kepentingan Pusat dan Daerah.
Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektif antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a)    Externalitas; yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Atau dengan kata lain, unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut;

b)    Akuntabilitas; yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Atau dengan kata lain unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat;

c)     Efisiensi; Apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh suatu strata pemerintahan tertentu, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan pemerintahan dimaksud dibandingkan dengan strata pemerintahan lainnya. Dayaguna dan hasilguna dapat diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan manfaatnya lebih besar, luas dan banyak dengan resiko yang minimal. Artinya, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Kondisi idealnya adalah Pemerintah Daerah harus mempunyai kewenangan-kewenangan yang memungkinkan mereka dapat menghasilkan public goods dan public regulations yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan)
§ Public Goods adalah barang-barang yang bersifat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup serta memperlancar usaha produktifitas yang dilakukannya. Misalnya: Pasar, Sekolah, Jalan, Rumah Sakit, dan Fasilitas umum lainnya
§ Public Regulations adalah suatu pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya dalam mengendalikan warga masyarakat. Misalnya: Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Izin Mendirikan Bangunan, Akte Kelahiran, dsb




D.    HUBUNGAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektif, efisien, ekonomis dan akuntabel.
Jimly Asshidiqie menegaskan bahwa tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan-urusan tertentu dianggap telah sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah, yang oleh karena itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri (Asshidiqie 2007: 423)

Pembagian urusan pemerintahan dapat ditinjau dari:
1.      Desentralisasi
2.      Dekonsentrasi
3.      Tugas Pembantuan (Medebewin)

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU 32/2004 Psl 1:7)

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai  wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. (UU 32/2004 Psl 1:8)

Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. (UU 32/2004 Psl 1:9)









ABSOLUT
(Mutlak Urusan Pusat)
 

Contoh: Pertanian,
Industri, Perdaga-
ngan, Kelautan,
Pariwisata, dsb
 
 



















Kriteria Pembagian Kewenangan
§ PUSAT à berwenang membuat norma-norma, standar, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dengan eksternalitas nasional
§ PROVINSI à berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kab/Kota)
§ KABUPATEN/KOTA à berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/Kota)

Strateginya:
§ Penguatan kerjasama antar daerah khususnya untuk pelayanan publik
§ Daerah wajib mengelola bersama urusan pemerintahan yang inefisien kalau dikerjakan sendiri-sendiri
§ Mencegah terjadinya high cost economy melalui pengelolaan bersama
§ Mencegah kegiatan lintas dampak yang merugikan daerah
§ Penerapan SPM sebagai embrio penyusunan perimbangan keuangan yang adil


1.      Pembagian Urusan Pemerintahan
a)     Urusan Pemerintah Pusat
Jenis urusan pemerintahan yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah :
a.      Politik luar negeri
b.     Pertahanan
c.       Keamanan
d.     Yustisi
e.      Moneter dan fiskal nasional; dan
f.        Agama

b)     Urusan Pemerintah Daerah
     Urusan Wajib
Urusan wajib: urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, antara lain:
a.      perlindungan hak konstitusional;
b.     perlindungan kepentingan nasional;
c.       pemenuhan komitmen nasional terkait dengan perjanjian dan konvensi internasional.

Pasal. 13 UU No. 32 Tahun 2004
(Urusan Wajib Pemerintahan Provinsi)
a.     perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.     perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
c.      penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.     penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.     penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 
g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.     pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.     pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o.     penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p.     urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 

Pasal. 14 UU No. 32 Tahun 2004
(Urusan Wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota)
a.     perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.     perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 
c.      penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.     penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.     penanganan bidang kesehatan;
f.       penyelenggaraan pendidikan; 
g.      penanggulangan masalah sosial;
h.     pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.        pengendalian lingkungan hidup;
k.      pelayanan pertanahan;
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.     pelayanan administrasi penanaman modal;
o.     penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan  
p.     urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 

     Urusan Pilihan
Urusan pilihan: urusan secara nyata di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah.





2.      Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan 6 urusan pemerintahan (pusat)
Pemerintah (pusat) dapat :
·        Menyelenggarakan sendiri
·        Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah/ wakil Pemerintah di daerah
·        Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa

Penyelenggaraan di luar 6 urusan pemerintahan (pusat)
Pemerintah (pusat) dapat:
·        Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan
·        Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
·        Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan






E.      HUBUNGAN KEUANGAN
HPD Berdasarkan Hubungan Keuangan

Azas Desentralisasi
Azas Dekonsentrasi
Azas Tugas Pembantuan
Pemerintah Pusat
Tidak turut membiayai kegiatan Daerah
Turut membiayai kegiatan Daerah
Turut membiayai kegiatan Daerah yang ditugaskannya
Pemerintah Daerah
Membiayai seluruh kegiatan pemerintahan dan pembangunan di Daerahnya masing-masing
Berkoordinasi dengan Kantor Wilayah yang ada di Tingkat Propinsi mengenai pembiayaan urusan dan kewenangan yang dilimpahkan dari Pusat
Pembiayaan bersumber dari Pusat atau Daerah tingkat atas yang menugaskannya, namun Daerah dapat menolak Tugas Pembantuan apabila tidak disertai Sumber Daya Keuangan dan SDM yang memadai

Diagram Hubungan Antara Pemerintah Pusat - Daerah
 





















F.      HUBUNGAN PENGAWASAN
1.      Pengertian Pengawasan
George R. Terry : Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi   atasnya, dan mengambil tindakan-tindakan korektif bila diperlukan, untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana.
Newman : Pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan rencana.
Henry Fayol : Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dengan instruksi yang telah diberikan dan dengan prinsif-prinsif yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.
Jika pengertian pengawasan diambil dari kata dalam bahasa Inggrisnya controlling, maka mau tidak mau didalamnya terkandung pula unsur tindakan korektif. Karena controlling itu sebenarnya dapat berarti pula pengendalian.

2.      Pemahaman Pengendalian dan Pengawasan
Kegiatan pengawasan adalah untuk mengetahui. Sedangkan kegiatan pengendalian adalah langsung memberikan arah kepada obyek yang dikendalikan.
Dalam pengendalian kewenangan untuk mengadakan tindakan korektif sudah terkandung didalamnya. Sedangkan dalam pengertian pengawasan, tindakan korektif merupakan proses kelanjutannya (berada diluarnya).
Jadi, pengendalian adalah pengawasan plus tindakan korektif.  Sedangkan pengawasan adalah penengendalian minus tindakan korektif.

tabel; HPD Berdasarkan Jenis Pengawasan

PREVENTIF
REPRESIF
UMUM
PEMERINTAH PUSAT
Melakukan pengesahan terhadap Perda dan Keputusan Kepda sebelum diberlakukan. Di tingkat Pusat dilakukan oleh Mendagri terhadap Perda dan Kep. Kepda tingkat Propinsi
Melakukan penangguhan atau pembatalan Perda atau Keputusan Kepda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah


PREVENTIF
REPRESIF
UMUM
PEMERINTAH DAERAH
Gubernur yang berhak untuk mengesahkan Perda dan Keputusan Kepala Daerah tingkat Kota dan Kabupaten
Daerah menyampaikan permohonan kepada Pusat agar Perda dan Kep. Kepda dapat disetujui dan disahkan. Apabila ditolak, Daerah dapat meminta bantuan kepada Mahkamah Agung
Kepala Daerah dan Bawasda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
Pasal 218
(1)  Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan Pemerintah yang meliputi:
a.      Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di Daerah
b.      Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
(2)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf “a” dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 221 : Hasil pengawasan dapat dijadikan bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

Pasal 222
(1)  Pengawasan dikoordinasikan oleh Mendagri
(2)  Untuk tingkat Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur
(3)  Untuk tingkat Desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota
(4)  Bupati/Walikota dapat melimpahkan kepada Camat




PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 14, yang menjadi kewenangan daerah dalam urusan pemerintahan yang bersifat wajib salah satunya adalah “Perencanaan Dan Pengendalian Pembangunan”.

Pasa1 150 UU No. 32 Tahun 2004
(1)  Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
(2)  Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
(3)  Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun secara berjangka meliputi:
a.    Rencana pembangunan jangka panjang daerah disingkat dengan RPJP daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional;
b.    Rencana pembangunan jangka menengah daerah yang selanjutnya disebut RPJM daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kapada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional;
c.     RPJM daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif;
d.    Rencana kerja pernbangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah;
e.    RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Sebagai penjabaran dari UU No. 32 Tahun 2004  Pasal 150 di atas, dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 (tentang : Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalan Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah), yang di dalamnya diterangkan mengenai tapan Rencana Pembangunan Daerah,sebagai berikut :

Pasal 4  PP No.8 Tahun 2008
(1)  Rencana pembangunan daerah meliputi:
a.    RPJPD;
b.    RPJMD; dan
c.     RKPD.
(2)  Rencana pembangunan daerah sebagaimana dmaksud pada ayat (1), disusun dengan tahapan;
a.    Penyusunan rancangan awal;
b.    Pelaksanaan Musrenbang;
c.     Perumusan rancangan akhir; dan
d.    Penetapan rencana

A.   RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH  (RPJPD)
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 5
(1)  Bappeda menyusun rancangan awal RPJPD.
(2)  RPJPD provinsi memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional
(3)  RPJPD kabupaten/kota memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional dan RPJPD provinsi
(4)  Dalam menyusun rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bappeda meminta masukan dari SKPD dan pemangku kepentingan

Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 6
(1)  Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rangcangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
(2)  Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3)  Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan awal RPJPD.
(4)  Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah

Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 7
(1)  Rancangan akhir RPJPD dirumuskan berdasarkan hasil Musrenbang.
(2)  Rancangan akhir RPJPD dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.
(3)  Rancangan akhir RPJPD disampaikan ke DPRD dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.

Penetapan
Pasal 8
(1)  DPRD bersama kepala daerah membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD.
(2)  RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 9
(3)  Gubernur menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi paling lama 1 (satu) bulan kepada Menteri.
(4)  Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota paling lama 1 (satu) bulan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 10
(1)  Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi kepada masyarakat.
(2)  Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.


B.    RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 11
(1)  Bappeda menyusun rancangan awal RPJMD.
(2)  RPJMD memuat visi, misi dan program kepala daerah.
(3)  Rancangan awal RPJMD berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode sebelumnya.

Pasal 12
(1)  Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2)  Rancangan Renstra-SKPD disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bapppeda.
(3)  Bappeda menyempurnakan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagai masukan.

Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 13
(1)  Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(2)  Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3)  Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan RPJMD.
(4)  Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah.

Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 14
(1)  Rancangan akhir RPJMD dirumuskan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang.
(2)  Pembahasan rumusan rancangan akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah.

Penetapan
Pasal 15
(1)  RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(2)  Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 bulan setelah kepala daerah dilantik.
(3)  Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi disampaikan kepada Menteri.
(4)  Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 16
(1)  Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi kepada masyarakat.
(2)  Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.

C.    RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD)
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 17
(1)  Bappeda menyusun rancangan awal RKPD.
(2)  RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD.
(3)  Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD menggunakan rancangan Renja-SKPD dengan Kepala SKPD.
(4)  Rancangan RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya serta prakiraan maju dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(5)  Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
(6)  Rancangan RKPD menjadi bahan Musrenbang RKPD.

Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 18
(1)  Musrenbang RKPD merupakan wahana partisipasi masyarakat di daerah.
(2)  Musrenbang RKPD dilaksanakan oleh Bappeda setiap tahun dalam rangka membahas Rancangan RKPD tahun berikutnya.
(3)  Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan untuk keterpaduan antar-Rancangan Renja SKPD dan antar-RKPD kabupaten/kota dalam dan antarprovinsi.
(4)  Musrenbang RKPD kabupaten/kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan antar-Rencana Pembangunan Kecamatan.

Pasal 19
(1)  Pelaksanaan Musrenbang RKPD provinsi difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri.
(2)  Pelaksanaan Musrenbang RKPD kabupaten/kota difasilitasi oleh pemerintah provinsi.

Pasal 20
(1)  Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan, dan kecamatan atau sebutan lain.
(2)  Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan setelah Musrenbang kabupaten/kota.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 21
(1)  Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi.
(2)  Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD kabupaten/kota.

Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 22
(1)  Hasil Musrenbang RKPD menjadi dasar perumusan rancangan akhir RKPD oleh Bappeda.
(2)  Rancangan akhir RKPD disusun oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang RKPD, dilengkapi dengan pendanaan yang menunjukkan prakiraan maju.

Penetapan
Pasal 23
(1)  RKPD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dan RKPD kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
(2)  Gubernur menyampaikan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada Menteri.
(3)  Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
(4)  RKPD dijadikan dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 24
(1)  Gubernur menyebarluaskan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada masyarakat.
(2)  Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA


                           Abe, Alexander. (2001). Perencanaan Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
                           Kansil, CST. (1984). Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Aksara Baru.
                           Koesoemahatmadja. (1979). Pengantar ke arah Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia. Bandung: Binacipta.
                           Liang Gie, The (1995). Pertumbuhan Pemerintahan Daerah. Jilid I, II, III. Yogyakarta: Liberty.
                           Riwu Kaho, Yosep. (1983). Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
                           Sugandha, Dann. (1981). Masalah Otonomi serta Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
                           Soejito, Rawan. (1990). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
                           Sarundajang, S.H. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
                           Sugandha, Dann (1981). Masalah Otonomi serta Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
                           Sarundajang, S.H. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

     Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.
     Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
     Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah.
     Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
     Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
     Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
     Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com